tk17teladan.sch.id - Elizabeth Hurlock mendefinisikan bahwa bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban. Dengan kata lain, bermain yang dilakukan oleh anak memiliki tujuan untuk kegiatan bermain itu sendiri agar anak merasa gembira. Dengan demikian, bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar yang mewajibkan anak untuk melakukan kegiatan bermain.
Jackman berpendapat bahwa bermain adalah sebuah perilaku yang didorong oleh motivasi pribadi (self-motivated), pilihan yang bebas, berorientasi pada proses, dan menyenangkan yang ditandai dengan aktivitas alamiah, sama sekali tidak dibuat-buat oleh anak. Bermain memungkinkan anak untuk menemukan, menciptakan dan mempelajari lingkungan sekitarnya. Anak-anak akan tersenyum, tertawa ataupun melepaskan penat yang dirasakan secara natural. Adapun
Fromberg mengemukakan bahwa bermain adalah puncak yang menyatukan pengalaman anak. Hal ini memiliki makna bahwa pada saat anak bermain, mereka akan menggali kembali pengalaman masa lalu yang pernah dilakukan, ditonton dari televisi atau media lainnya, didengar ataupun dibacanya. Pengalaman tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membangun kegiatan bermain, seperti dalam menyusun alur main, berdialog atau terlibat dalam beragam aktivitas lainnya.
Pendapat tentang bermain juga dikemukakan oleh Musfiroh yakni “bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan tanpa mempertimbangkan hasil akhir, kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak luar”. Pendapat ini menyatakan bahwa kegiatan bermain adalah kegiatan sukarela yang dilakukan atas dasar kesenangan kegiatan itu sendiri. Pada saat bermain, anak tidak pernah memikirkan hasil akhir dari permainan karena mereka sangat menikmati proses kegiatannya.
Anggani Sudono menyatakan bahwa “Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa bermain dengan cara apapun akan memberikan suka cita pada anak. Anak juga akan berimajinasi bebas yang dituangkan dalam kegiatan bermain. Berdasarkan pandangan-pandangan ahli yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat dideskripsikan bahwa bermain adalah kegiatan yang menyenangkan, sebagai bagian dari refkeksi pengalaman anak sehari-hari, alamiah dalam prosesnya. Tidak ada anak yang merasa terpaksa saat melakukannya karena semua didorong oleh motivasi dari dalam dirinya sendiri.
Karakteristik Kegiatan Bermain
Seefeldt dan Barbour menyatakan bahwa bermain memiliki enam karakteristik. Keenam karakteristik tersebut adalah (1) bermain dilandasi oleh motivasi instrinsik dari dalam diri anak, (2) bermain merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan, (3) bermain merupakan suatu kegiatan yang bebas dan fleksibel dari aturan-aturan yang dibebankan dari luar, (4) bermain adalah kegiatan nonliteral, (5) bermain mensyaratkan kegiatan yang bersifat verbal, mental dan fisik, serta (6) bermain merupakan pilihan yang bebas. Sementara itu, Hughes mendeskripsikan bahwa bermain harus memiliki lima karakteristik yang esensial, yakni: (1) bermain harus benar-benar dilandasi oleh motivasi intrinsik, (2) dipilih secara sukarela dan bebas oleh si pemain, (3) menyenangkan, (4) non literal, dan (5) keterlibatan aktif dari pemain. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik bermain setidaknya mencakup beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Menyenangkan
Kata pertama yang seringkali disandingkan dengan bermain adalah perasaan menyenangkan. Anak akan merasa bahagia ketika melakukan kegiatan main. Bermain justru akan mengurangi atau bahkan mengubah perasaan yang kurang nyaman menjadi kondisi yang membahagiakan pada anak.
2. Motivasi instrinsik/personal
Bermain bersifat sukarela, tanpa paksaan dari pihak manapun untuk melakukannya. Anak dengan dorongan dari dalam dirinya akan bermain sesuai keinginan mereka. Tanpa ada imbalan apapun. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan bermain dilakukan oleh anak tanpa ada dorongan sedikit pun dari pihak luar, apakah orang tua, pengasuh, kakak atau adik. Anak terdorong oleh keinginan mereka sendiri untuk bermain. Pilihan jenis kegiatan bermain sepenuhnya ditentukan sendiri oleh anak tanpa ada intervensi dari pihak lain. Motivasi intrinsik ini adalah dorongan yang melekat pada anak untuk melakukan sesuatu yang nyata berdasarkan pengamatan dan pengalaman sebelumnya.
3. Lebih berorientasi pada proses
Anak tidak terlalu mempedulikan hasil akhir dari sebuah permainan. Mereka menikmati bagaimana menjalani kegiatan bermain itu sendiri. Saat anak menentukan pilihan kegiatan main kemudian mereka memilih peran atau alat main, berdialog, mereka akan larut dalam suka cita mereka sendiri. Anak tidak akan khawatir jika tujuan awal nantinya akan berubah pada saat mereka bermain. Tujuan dapat saja berubah pada saat mereka menikmati proses bermainnya.
4. Non Literal
Non literal memiliki makna tidak sungguhan atau pura-pura. Anak terkadang melakukan peniruan terhadap peran-peran yang ada di lingkungan nyata ke dalam kegiatan bermainnya. Perilaku non literal ini sudah terjadi sejak awal usia anak. Sebagai contoh, ketika anak mengikuti gaya orang tuanya yang sedang menelepon, anak ikut mengangkat satu tangan dan diletakkan tepat di telinganya. Kemudian anak mengatakan “hallo, hallo” meskipun dengan suara yang cadel.
5. Aturan yang fleksibel
Aturan main dapat dibuat oleh anak secara fleksibel. Anak menciptakan kesepakatan bersama atau aturan bagi diri mereka sendiri. Sebagai contoh pada saat dua orang anak prasekolah bermain peran menjadi seorang dokter dan pasien, ada aturan yang tidak tertulis di antara mereka untuk menjalani peran tersebut sampai akhir. Anak yang berperan sebagai dokter akan melakukan gerakan, menyusun rangkaian ucapan yang menunjukkan dirinya adalah dokter yang bertugas untuk mengobati pasien. Demikian juga sebaliknya, anak yang berperan sebagai pasien akan menjaga seolah-olah dia dalam kondisi sakit sehingga mendapatkan pengobatan dari si dokter. Hal ini menunjukkan bahwa kedua anak tersebut mengikuti sebuah proses untuk memahami sebuah peran dan mematuhi peraturan yang ada di dalamnya.
6. Aktif
Aktif artinya anak terlibat secara langsung pada kegiatan yang dilakukan. Anak adalah individu yang aktif untuk menggali pengalaman mereka sendiri melalui bermain. Mereka mengeksplorasi dengan menyimak, terus mencoba (trial and error), memanipulasi, menghidu (membaui), mengamati, mengkomunikasikan, dan menanggapi beragam kejadian yang mereka rasakan saat bermain. Ketika anak menemukan alat main yang baru, mereka akan berlatih untuk berpikir dan kemudian belajar melewati tantangan tersebut. Keaktifan anak tidak semata-mata dipandang pada saat mereka menggunakan otot kasarnya untuk bermain, seperti pada saat berlari, memanjat, melompat, dan berseluncur. Namun, keaktifan juga dimaknai ketika anak berpikir secara mental seperti dalam bermain imajinatif.
7. Komunikatif
Anak akan saling bertukar bahasa verbal saat bermain, terutama dalam bermain sosiodramatik. Ada pesan yang disampaikan oleh satu anak kepada anak lain. Mereka akan saling berbincang-bincang tentang banyak hal. Kadang anak bertanya, teman akan menjawab. Seorang anak menyampaikan pesan kepada anak lain untuk dipahami dan ditanggapi, demikian juga sebaliknya.
8. Episodik
Bermain memiliki episode bermainnya sendiri. Bermain akan dimulai oleh anak, mencapai kegiatan puncak main sampai akhir dari sebuah kegiatan bermain. Periode dalam kegiatan bermain ini terjadi pada saat anak menjadikan sebuah tema dari beberapa peristiwa yang dialaminya. Anak kemudian memulai bermain, melakukan serangkaian kegiatan untuk mendukung terciptanya tema tersebut dan setelah merasa terpuaskan untuk melakukannya, anak akan mengakhiri kegiatan bermainnya untuk kemudian menggantikan dengan tema yang baru.
9. Bermakna
Bermain adalah kegiatan yang penuh makna dan sarat akan pengalaman. Melalui kegiatan bermain, anak akan menghubungkan antara gagasan, pemahaman, dan pemecahan masalah yang tidak akan dirasakan oleh orang yang tidak terlibat dalam kegiatan bermain tersebut. Anak akan banyak merefleksikan pengetahuan yang telah mereka miliki dan melakukan apa yang telah mereka kuasai dalam kegiatan bermain.
Manfaat dan Fungsi Bermain
Bermain banyak sekali memberikan manfaat kepada anak usia dini, terutama pada proses tumbuh kembang yang ada pada diri anak usia dini. Kegiatan bermain dapat memberikan manfaat secara fisik karena bermain dianggap sebagai aktivitas yang dapat menggerakkan badan anak. Bermain juga dianggap sebagai kegiatan yang menyalurkan kegemaraan atau kesukaan yang dimiliki sehingga bermanfaat dalam menjadi sebuah proses relaksasi yang akan membantu perkembangan sosial emosional anak.
Bagi guru atau orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak, bermain dapat dikatakan sebagai cara untuk mendidik anak. Banyak orang dewasa yang bermain bersama anak, bukan karena kelebihan waktu, tetapi lebih karena ingin mendidik anak. Orang dewasa bermain kartu kata, bermain boneka, bermain ular tangga, dan bermain lompat tali bersama anak, adalah karena mereka ingin menanamkan kebersamaan, sportivitas, dan mengembangkan kemampuan anak memahami aturan bermain yang lebih baku.
Urgensi Kegiatan Bermain
Anak belajar pertama kali melalui organ sensorinya, yaitu panca indera. Anak akan mencium, meraba, menggigit, dan melakukan beragam aktivitas untuk mendapatkan pengalaman baru. Pengalaman yang dirasakan oleh indera tersebut akan diolah oleh otak dan menghasilkan persepsi, baik positif maupun negatif. Persepsi adalah kemampuan anak untuk menafsirkan sesuatu yang telah dilihat atau dirasakannya. Persepsi yang diulang-ulang membentuk kebiasaan anak, yang nantinya akan mempengaruhi kepribadiannya. Dalam bermain, anak akan membangun persepsi positif sehingga memberikan dampak yang positif juga terhadap kepribadiannya. Selain karena alasan tersebut, kegiatan bermain memiliki alasan lain yang sangat penting bagi aspek perkembangan anak, sebagai berikut:
a. Urgensi Bermain bagi Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif berkaitan dengan kemampuan aktivitas otak anak dan merupakan bagian dari kegiatan mental (otak) yang mencakup: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisa, mensintesa, dan menilai. Bermain bukanlah sebuah proses sederhana yang hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak anak dan kemudian anak mengeluarkannya. Anak perlu melakukan kegiatan bermain dengan banyak pengalaman baru agar mendapatkan informasi berharga dari hal tersebut. Simbolisasi dalam bermain yang merupakan cara mereka merepresentasikan kemampuan berpikirnya yang terlihat dari bagaimana anak mencoba untuk meniru atau melakukan apa yang dipikirkannya. Seorang anak yang pernah diajak ibunya membeli sate kemudian dia bermain pura-pura meniru cara tukang sate mengipasi daging yang dibakar merupakan salah satu contoh bagaimana anak merepresentasikan kemampuan berpikir simboliknya dalam bermain.
b. Urgensi Bermain bagi Perkembangan Bahasa
Kegiatan bermain penting sekali bagi perkembangan bahasa anak usia dini. Bermain membantu anak memahami penggunaan bahasa sesuai dengan konteksnya, terutama pada saat anak bermain peran. Mereka akan menggunakan kosa kata yang memiliki hubungan dengan kata-kata sesuai dengan main peran yang sedang dilakukan. Selain itu, anak juga akan belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik, yakni menyampaikan pesan agar dapat diterima oleh lawan bicaranya dengan baik menggunakan kalimat yang sederhana. Mereka juga belajar menggunakan intonasi dan mimik muka yang tepat ketika berinteraksi dengan teman sebayanya. Dalam setiap kesempataan saat bermain, anak juga akan belajar menggunakan kombinasi kata-kata baru dalam bercakap-cakap. Dengan demikian, tata bahasa anak juga akan berkembang menjadi lebih sempurna.
c. Urgensi Bermain bagi Perkembangan Fisik Motorik
Bermain penting bagi perkembangan fisik dan motorik anak, baik keterampilan motorik kasar maupun motorik halus. Penggunaan panca indera dan gerakan motorik yang berulang-ulang pada saat bermain sensori motor akan melatih anak menemukan bagaimana fungsi kerja dari bagian tubuh mereka. Anak akan mengembangkan kesadaran pada aktivitas dengan otot halus (saat menggunakan koordinasi mata dan tangan bersamaan) atau otot besar (saat anak melompat, berjalan, berlari, dan sebagainya). Panca indera anak juga bekerja dengan baik pada saat mereka bermain. Anak akan mengamati, mendengar, merasakan dan menghidu atau mencium untuk mendapatkan pengalaman baru dan mempraktekkannya. Kegiatan bermain akan melatih anak menyeimbangkan penggunaan organ fisiknya secara efektif.
Urgensi Bermain bagi Perkembangan Sosial Emosional Anak usia dini membutuhkan sosialisasi sebagai alat untuk menjalin perkawanan yang baik dengan teman sebayanya. Meskipun di usia awal anak masih bermain sendiri, namun seiring bertambahnya usia, anak akan belajar untuk bermain berdampingan (dalam bermain paralel), melakukan komunikasi, saling meminjam alat main, dan kemudian bekerja sama dalam kegiatan bermain sosio dramatik yang lebih kompleks.
Dari sudut pandang aspek perkembangan emosi, bermain akan melatih anak-anak menjadi lebih memahami dan membangun kesadaran terhadap diri mereka sendiri. Anak akan menemukan beragam cara untuk
melepaskan emosi yang negatif, termasuk juga masalah traumatis yang pernah dialami. Kecemasan karena perpisahan atau ketakutan juga dapat direduksi melalui kegiatan bermain. Anak juga akan belajar menenangkan diri untuk meredakan kenyataan dalam masalah emosional mereka melalui eksplorasi kegiatan bermain yang dilakukannya.
Hubungan bermain yang terjalin pada saat usia dini ini akan mempengaruhi bagaimana cara mereka memandang pertemanan dengan lebih baik di kemudian hari. Anak akan percaya terhadap diri mereka sendiri dan juga belajar mempercayai teman. Ini adalah bekal yang penting bagi pembentukan konsep diri anak.
Peran Guru dalam Kegiatan Bermain
Rachel (2012) menjelaskan bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan bermain anak usia dini, di antaranya:
a) Pengamat (Onlooker)
Sebagai pengamat, guru mengamati dari dekat dan membuat komentarkomentar seperlunya saja dengan tidak mengganggu atau tidak terlibat dalam kegiatan bermain yang sedang dilakukan oleh anak. Pengamatan yang dilakukan akan sangat membantu guru dalam mengetahui dan memahami bagaimana perilaku dan kebiasaan anak dalam bermain. Guru juga akan mendapatkan keputusan kapan mereka dapat terlibat atau mengintervensi kegiatan bermain anak, sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemberi Pijakan (Stage Manager)
Dalam peran ini, guru tidak bermain langsung sebagai bagian dalam kegiatan bermain anak. Namun demikian, guru berperan untuk membantu anak untuk mengalami kemajuan penting dalam kegiatan bermain dan menawarkan bantuan pada saat dibutuhkan, seperti dalam menyiapkan peralatan bermain peran. Guru juga dapat menawarkan skenario kegiatan bermain (misalnya dalam mengembangkan kegiatan bermain peran sehingga menjadi lebih berkembang temanya), akan tetapi anak bebas atau tidak harus mengikuti saran dari guru.
c. Teman Bermain (Co-Player)
Sebagai teman bermain, guru ikut terlibat langsung dalam kegiatan bermain. Pada umumnya, guru membuat sebuah dukungan kecil ketika anak-anak mulai memimpin kegiatan bermain. Teman bermain memberikan saran-saran untuk memperluas bermain dan kadangkala keterampilan bermain bagi anak, seperti berbagi/ diskusi dalam kegiatan bermain.
d. Pemimpin Permainan (Play Leader)
Pada peran ini, guru secara aktif terlibat dalam memandu kegiatan bermain anak dalam setiap langkah-langkah kegiatannya. Pemimpin bermain memiliki tujuan untuk memperkaya dan mengelaborasi kegiatan bermain melalui tema-tema baru, kostum, peralatan, alur cerita dalam sebuah kegiatan bermain. Guru memiliki keterlibatan yang sangat besar pada anak untuk terus menjaga keberlangsungan dari sebuah kegiatan bermain.
Kegiatan Bermain Berbasis Teori Ekologi
Teori ekologi dicetuskan oleh seorang developmentalis, Urie Bronfrenbrenner. Fokus utama dari teori ini adalah konteks sosial di mana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan anak. Terdapat sistem lingkungan yang merentang dari interaksi interpersonal sampai ke pengaruh budaya yang lebih luas, yakni: mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem.
a. Mikrosistem
Mikrosistem adalah lingkungan dimana anak bertempat tinggal. Konteks ini meliputi keluarga individu, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Dalam sistem mikro terjadi banyak interaksi langsung dengan agen sosial, yaitu orang tua dan guru. Dalam proses interaksi tersebut, anak bukan sebagai penerima pasif tetapi turut aktif membentuk dan membangun setting mikrosistem. Kegiatan bermain anak juga menjadi bagian penting dalam konteks mikrosistem. Banyak sekali kegiatan bermain dilakukan langsung oleh anak dipengaruhi oleh keluarga, teman sebaya, guru, dan orang-orang yang terdekat lainnya dengan kehidupan anak.
b. Mesosistem
Mesosistem meliputi interaksi antar mikrosistem yang berbeda dimana seorang anak berada. Pada intinya mesosistem adalah suatu sistem yang terbentuk dari mikrosistem dan melibatkan hubungan antara rumah dan sekolah, teman sebaya dan keluarga atau antara keluarga dan sekolah. Anak akan melakukan kegiatan bermain bersama dengan teman temannya di rumah dan di sekolah yang akan turut mempengaruhi bagaimana perkembangannya.
c. Eksosistem
Ekosistem adalah sistem sosial yang lebih luas dimana anak tidak terlibat secara langsung, tetapi begitu berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sub sistem ini terdiri dari lingkungan kerja orang tua, kenalan saudara, peraturan dari pihak sekolah. Sub sistem ekosistem yang tidak langsung menyentuh pribadi anak akan tetapi besar pengaruhnya terhadap anak antara lain: koran, majalah, televisi, dokter, keluarga besar dan lain-lain. Ekosistem juga mempengaruhi kegiatan bermain anak. Pengalaman berinteraksi dengan pihak-pihak di luar keluarga juga akan tercermin dalam kegiatan bermain yang dilakukan.
d. Makrosistem
Makrosistem adalah sistem lapisan terluar dari lingkungan anak. Sub sistem makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya dan lain-lain. Menurut Berk, budaya yang dimaksud dalam sub sistem ini adalah pola tingkah laku, kepercayaan dan semua produk dari sekelompok manusia dari generasi ke generasi. Makro sistem memiliki andil yang juga sangat besar dalam kegiatan bermain anak, seperti dalam permainan tradisional. Permainan tradisional yang dimainkan anak merupakan ragam kebudayaan yang tumbuh dari tradisi sehari-hari di masyarakat.
e. Kronosistem
Kronosistem memberikan kegunaan dari dimensi waktu yang menunjukkan pengaruh akan perubahan dan kontinuitas dalam lingkungan seorang anak. Kronosistem dapat berupa perubahan, transisi dan tingkatan dalam struktur keluarga, alamat, status pekerjaan orang tua, perubahan sosial dalam masyarakat seperti ekonomi dan kondisi perang.
Teori Bermain Klasik Vs Teori Bermain Modern
a. Teori Bermain Klasik
1) Teori Surplus Energi (The Surplus Energy Theory)
Teori surplus energi (The Surplus Energy Theory) dalam bermain ini dicetuskan oleh Herbert Spencer dari Inggris. Menurutnya, anak usia dini memiliki energi yang luar biasa dan sangat berlebih. Energi yang berlebih tersebut kemudian oleh anak akan dikeluarkan melalui bermain.
2) Teori Relaksasi/Teori Rekreasi (The Recreation/ Relaxation Theory)
Teori ini menyatakan bahwa bermain berfungsi untuk me-refresh energi. G.T. W Patrick menyatakan bahwa orang-orang yang kehabisan energi perlu menemukan cara untuk memulihkan energi fisik dan psikologis mereka. Bermain sangat dibutuhkan untuk mengembalikan energi tersebut. Fokus dari teori ini adalah bermain sebagai cara untuk mengembalikan energi dari kelelahan yang dialami setelah bekerja cukup keras. Bermain akan menyegarkan kembali kondisi tubuh menjadi lebih bugar dan menghindari kemalasan.
3) Teori Praktis (The Pre-Exercise/Practice Theory)
Teori ini menyatakan bahwa bermain adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan anak sehari-hari karena melalui kegiatan tersebut anak akan mempraktekkan beragam keterampilan yang nantinya mereka butuhkan pada saat dewasa. Jadi, teori ini memandang bahwa bermain adalah persiapan untuk kehidupan anak di masa mendatang. Karl Groos, pencetus teori ini, mengidentifikasi bahwa bermain mencakup kegiatan: bermain eksperimental (bermain dengan aturan), bermain yang melibatkan perilaku seolah-olah berkelahi (rough and tumble play), dan bermain imajinasi, sosial, dan permainan keluarga (dramatic play).
4) Teori Rekapitulasi (The Recapitulation Theory)
Menurut G. Stanley Hall, pencetus teori rekapitulasi ini, bermain adalah kegiatan katarsis untuk menghilangkan naluri primitif yang tidak tepat untuk diturunkan pada generasi selanjutnya. Anak melakukan pengulangan terhadap permainan yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya.
b. Teori Bermain Modern
1) Teori Psikoanalisis
Bermain adalah cara yang paling baik meminimalisir kecemasan. Teori ini dicetuskan oleh Sigmund Freud, Erik Erikson dan Anna Freud. Menurut Anna Freud dkk yang mengemukakan teori ini, bermain dapat digunakan sebagai cara anak untuk membantu menguasai kejadian traumatik yang pernah dirasakan oleh anak. Anak bermain untuk mengurangi emosi negatif yang tidak dapat mereka kontrol dalam kehidupan sesungguhnya, termasuk truma dan konflik. Bermain adalah kegiatan untuk katarsis emosi yang negative untuk kemudian diubah menjadi emosi yang positif.
2) Teori Sosio Kultural/Konstekstual
Dalam konteks sosio-kultural, Vygotsky menyatakan bahwa bermain secara langsung mendukung kekuatan perkembangan kognitif anak, terutama dalam kegiatan bermain simbolik, karena mendukung kemampuan berpikir abstrak. Vygotsky percaya bahwa anak memiliki potensi untuk mencapai tingkat kemampuan namun tidak dapat mencapainya tanpa bantuan. Anak-anak memerlukan kegiatan menantang yang membatasi jangkauan pengalaman, pengetahuan, penggunaan banyak sumber daya yang ada, dan tingkat keterampilan memecah kan masalah untuk memperluas pengembangan pengetahuan dan keterampilan baru, yang pada gilirannya menghasilkan tingkat kemahiran baru.
3) Teori Arousal Modulation (Arousal Modulation Theory)
Teori ini dimunculkan oleh D.E. Berlyne, G. Fein, dan H. Ellis. Anak-anak bermain untuk mengatur tingkat gairah di sistem saraf pusat mereka. Teori ini mengasumsikan tingkat optimal dari dorongan sistem saraf pusat yang coba diupayakan oleh manusia melalui kegiatan bermain. Bermain adalah cara untuk mencari keseimbangan level kesenangan dan tantangan. Anak mencari kesenangan dan tantangan melalui pengalaman sensori. Bermain sebagai alat untuk menjaga tingkat keseimbangan agar berada di tingkat optimal.
4) Teori Kognitif
Teori kognitif dikembangkan oleh Jerome S. Bruner, Jean Piaget, dan B. Sutton Smith. Hughes (2010) menuliskan bahwa bermain menfasilitasi perkembangan kognitif. Teori ini menekankan aspek permainan yang berbeda saat anak tumbuh dan berkembang. Teori ini menekankan bahwa anak-anak membutuhkan lingkungan yang memungkinkan mereka dapat menciptakan pengetahuan mereka daripada menerimanya dari para guru. Anak mengembangkan kecerdasan mereka dengan berinteraksi dengan lingkungan fisik di sekitarnya.
Jenis Kegiatan Bermain
Pamela Minett mencatat bahwa kegiatan bermain dapat dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu: bermain penemuan (discovery play), kegiatan bermain secara fisik (physically play), bermain kreatif (creative play), bermain imajinatif (imaginative play), bermain manipulatif (manipulative play) dan bermain sosial (social play).
- Kegiatan bermain penemuan (discovery play) adalah kegiatan bermain yang memungkinkan anak untuk menemukan sesuatu-apa yang mereka sukai (meliputi: tekstur, bentuk, ukuran, warna), bagaimana mainan itu dibuat, bagaimana mainan tersebut dapat digunakan. Dalam bermain penemuan ini akan akan mencoba memahami mengapa suatu benda dapat saja rusak, berubah bentuk, mempunyai warna yang beragam, dan sebagainya.
- Kegiatan bermain fisik (physically play) terjadi ketika anak secara aktif bergerak dan berpindah. Kegiatan bermain ini dicirikan dengan kegiatan yang dilakukan oleh anak menggunakan otot-otot besar seperti berlari, melompat, melempar, merayap, bergerak perlahan, berdiri di atas papan keseimbangan atau berenang.
- Bermain kreatif (creative play) terjadi ketika anak mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara orisinil atau dalam membuat sesuatu secara natural, seperti kegiatan menggambar, melukis, atau membuat hewan dengan playdough.
- Bermain imajinatif (imaginative play) adalah bermain pura-pura atau fantasi. Anak mewujudkan imajinasi menjadi seolah-olah seperti sebuah tindakan nyata dalam kegiatan bermain.
- Bermain manipulatif (manipulative play) adalah kegiatan bermain dengan melibatkan kemampuan menggunakan tangan. Selama kegiatan bermain manipulatif, anak akan menggunakan tangan, mata dan otak secara terkoordinasi agar terlatih secara halus.
- Bermain sosial (social play) terjadi ketika anak sudah mulai bermain bersamasama dan terlibat antara satu dengan lainnya. Kegiatan bermain ini akan memberi pengalaman kepada anak untuk bekerja sama, berbagi dan bersikap jujur.
Dalam Santrock, Mildred Parten mengkategorikan kegiatan bermain berdasarkan pola interaksi yang ditampilkan oleh anak ketika bermain. Pola interaksi tersebut terdiri dari enam pola yang menunjukkan gradasi kadar interkasi yang semakin bersifat sosial atau semakin membutuhkan teman bermain dalam interaksi yang positif. Enam pola interaksi tersebut yaitu:
1) Tidak peduli (unoccupied play)
Pola interaksi ini terjadi ketika anak tidak terlibat dalam permainan seperti anak-anak lain umumnya, tetapi mungkin berdiri di suatu titik, memandang ke sekitar ruangan atau melakukan gerakan-gerakan acak yang nampaknya tidak memiliki suatu tujuan. Pada pola interaksi ini, anak terlihat tidak bermain seperti yang umumnya dipahami sebagai kegiatan bermain. Anak hanya mengamati kejadian di sekitarnya yang menarik perhatiannya. Apabila tidak ada hal yang menarik, maka anak akan menyibukkan dirinya sendiri. Anak mungkin hanya berdiri di suatu sudut, melihat ke sekeliling ruangan, atau melakukan beberapa gerakan tanpa tujuan tertentu. Jenis bermain semacam ini hanya dilakukan oleh bayi. Jenis bermain ini belum menunjukkan minat anak pada aktivitas atau objek lainnya.
2) Sendiri/soliter (solitary play)
Pola interaksi ini terjadi ketika anak bermain sendirian dan mandiri dari orang lain. Anak dapat menggunakan alat main atau tanpa alat main ketika bermain sendiri. Anak tidak terpengaruh oleh kondisi sekitar. Artinya meskipun banyak anak lain sedang bermain di sisi kanan kirinya, anak tetap melakukan kegiatan bermain sendirian dan tidak berhubungan dengan permainan temantemannya. Anak asyik sendiri dan menikmati aktivitasnya. Anak tidak memperhatikan hal lain yang terjadi. Pada tahapan ini, anak belum menunjukkan antusiasmenya kepada lingkungan sekitar, khususnya orang lain. Anak terlihat lebih menikmati kegiatannya sendiri dalam bermain, baik menggunakan atau tanpa menggunakan alat permainan.
3) Penonton (onlooker play)
Pola interaksi ini terjadi ketika anak melihat, memperhatikan atau menonton anak atau orang lain bermain. Anak mengamati apa yang dimainkan oleh anak lain tetapi tidak memiliki keinginan untuk terlibat di dalam kegiatan bermain tersebut. Anak-anak mulai memperhatikan lingkungannya. Di sinilah anak mulai mengembangkan kemampuannya untuk memahami bahwa dirinya adalah bagian dari lingkungan. Walaupun anak sudah mulai tertarik dengan aktivitas lain yang diamatinya, anak belum memutuskan untuk bergabung. Anak biasanya cenderung mempertimbangkan apakah ia akan bergabung atau tidak. Sebagai contoh, anak duduk di bawah pohon mengamati teman lainnya yang sedang asyik bermain bola.
4) Berdampingan (Parallel play)
Pola interaksi ini terjadi ketika anak bermain terpisah dari anakanak lain, tetapi menggunakan mainan-mainan yang sama seperti yang digunakan anak-anak lain atau dengan cara meniru cara mereka bermain.
5) Asosiatif (associative play)
terjadi ketika permainan melibatkan interaksi sosial dengan sedikit organisasi atau tanpa organisasi. Pada saat bermain ini, anak tidak memiliki tujuan awal dari kegiatan bermain yang mereka lakukan. Namun, anak kemudian mulai melakukan interaksi yang lebih sering dan mulai bekerja sama. Mereka sudah ada kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama namun biasanya belum ada peraturan. Misalnya, anak melakukan permainan kejar-kejaran, namun seringkali tidak tampak jelas siapa yang mengejar siapa. Tahapan bermain ini biasanya dilakukan oleh sebagian besar masa anak-anak prasekolah.
6) Kerjasama (cooperative play)
Pola interaksi ini meliputi interaksi sosial di dalam suatu kelompok yang memiliki suatu rasa identitas kelompok dan kegiatan yang terorganisasi. Pada tahapan ini, anak memiliki interaksi sosial yang teratur. Kerja sama atau pembagian tugas/peran dalam permainan sudah mulai diterapkan untuk mencapai satu tujuan tertentu. Misalnya, bermain sekolahsekolahan, membangun rumah-rumahan. Tipe permainan ini yang mendorong timbulnya kompetisi dan kerja sama anak. Tahapan bermain ini biasanya dilakukan oleh anak-anak pada masa sekolah dasar, namun dalam sudah dapat dimainkan oleh anak-anak taman kanak-kanak bentuk sederhana.
Adapun Mayesky menyatakan bahwa bermain memiliki peran yang sangat penting bagi kurikulum anak usia dini. Menurutnya, bermain memiliki beberapa jenis antara lain:
1) Bermain praktis (practice play)
Anak bermain dengan melakukan gerakan yang berulang-ulang, hanya mencari kesenangan. Sebagai contoh: anak mengambil pasir dan menaburkannya berulang kali.
2) Bermain konstruktif (constructive play)
Bermain yang ditandai dengan anak membangun atau menciptakan sesuatu, seperti membangun balok unit.
3) Bermain rough-tumble (rough and tumble play) Bermain yang melibatkan anak untuk tertawa dan meniru tetapi menyebabkan sedikit kekerasan. Namun demikian, dalam kegiatan bermain ini bukanlah bermain yang agresif dan jika dilakukan pada area yang aman, masih tetap dalam kategori bermain. Artinya meskipun terlihat anak-anak seperti berkelahi, tetapi mereka sebenarnya sedang bermain, tidak berkelahi sungguhan.
4) Bermain dramatik (dramatic play)
Bermain yang memberikan kesempatan pada anak untuk meniru peran dari orang lain, hewan, atau objek lainnya. Anak akan meniru menjadi tokoh tertentu yang disukainya, apakah tokoh tersebut sering ditemuinya sehari-hari maupun tidak
5) Bermain dengan aturan (games with rules)
Bermain yang harus mengikuti serangkaian aturan tertentu yang disepakati bersama dengan anak-anak lainnya.
Tahapan Bermain
Elizabeth Hurlock mengemukakan bahwa kegiatan bermain yang dilakukan oleh seorang anak melewati suatu tahapan yang dapat diramalkan sesuai dengan tingkatan usianya. Tahapan bermain dimulai dari:
- Tahap Eksplorasi (exploratory stage) Tahap eksplorasi ditandai dengan kegiatan melakukan gerakan-gerakan acak dan mencoba mengenali suatu benda yang diberikan kepadanya. Anak akan mencoba meraba, memegang, mengambil, dan mempelajari suatu benda. Tahap eksplorasi ini dilalui sejak anak masih bayi sampai anak dapat berjalan.
- Tahap Permainan (toy stage) Tahap permainan dimulai setelah anak dapat berjalan (sekitar usia satu tahun) sampai usia 5 dan 6 tahun. Tahap permainan ditandai dengan kegiatan bermain sendiri, berfantasi menganggap bahwa alat permainan yang mereka pergunakan memiliki sifat hidup seperti dapat berbicara, bergerak, dan bernyayi.
- Tahap Bermain (play stage) Tahap bermain dimulai ketika anak sudah mulai membutuhkan kehadiran teman dan biasanya terjadi pada saat usia sekolah. Tahap bermain ditandai dengan kegiatan bermain yang semakin beragam, selain masih menggunakan alat permainan ketika mereka bermain sendiri, anak juga mulai memiliki minat dalam olahraga dan hobi.
- Tahap Melamun (daydream stage). Tahap melamun terjadi saat menjelang masa remaja. Anak semakin banyak menghabiskan waktunya untuk melamun.
Piaget meyakini bahwa bagaimana anak usia dini bermain sangat dipengaruhi oleh tahapan perkembangan kognitifnya. Piaget yang kemudian disempurnakan oleh Smilansky dalam Dockett dan Fleer mendeskripsikan kegiatan bermain menjadi empat tahapan yaitu: bermain fungsional, bermain konstruksi, bermain simbolik, dan bermain dengan aturan.
- Bermain fungsional (functional play). Bermain fungsional berkaitan dengan tahapan perkembangan sensori motor, yang melibatkan penggunaan objek atau tindakan yang berulang-ulang.
- Bermain konstruksi (construction play). Bermain konstruksi melibatkan penggunaan alat-alat untuk menciptakan sesuatu yang tetap terbentuk setelah kegiatan bermain selesai.
- Bermain simbolik (symbolic play). Kegiatan bermain simbolik merupakan kegiatan bermain yang mengizinkan anak untuk mentransfer objek ke dalam simbol tertentu (sesuatu yang mewakili sesuatu), dan mengimajinasikannya ke dalam peran seseorang, tempat, atau kejadian dan pengalaman yang pernah dirasakan oleh anak.
- Bermain dengan aturan (games with rules) yang berlangsung pada tahap perkembangan operasional konkret atau pada masa sekolah dasar. Bermain dengan aturan adalah kegiatan bermain yang diatur oleh beberapa kesepakatan aturan bersama, relatif universal. Artinya, aturan main tersebut bukan dibentuk oleh kesepakatan bersama sebelum bermain tetapi ada aturan-aturan yang berlaku sebelumnya yang juga ditetapkan bagi anak lainnya di tempat yang berbeda. Sebagai contoh, bermain congklak memiliki aturan anak harus mengisi lubang congklak dengan biji-bijian atau kerang sejumlah banyaknya lubang yang dimiliki congklak tersebut pada sisi yang bersebelahan.Permainan ini dimainkan oleh dua orang anak secara bergiliran. Anak akan memasukkan satu biji atau satu kerang ke dalam lubang dan juga memenuhi lubang besar miliknya sendiri sampai berhenti di lubang yang kosong. Pemain yang berhasil memasukkan biji terbanyak di lubang besar miliknya adalah pemenang dari permainan ini.
Merancang Media Bermain AUD
Langkah-langkah dalam perencanaan media secara umum dapat dirinci sebagai berikut: (1). Identifikasi kebutuhan dan karakteristik anak, (2) Perumusan tujuan instruksional (instructional objective), (3) Perumusan butir-butir materi yang terperinci, (4) Mengembangkan alat pengukur keberhasilan, (4) menuliskan naskah media, (5) merumuskan instrumen dan tes dan revisi. Merancang sebuah media untuk aktivitas bermain anak perlu merinci kebutuhan akan media tersebut. Pendidik perlu melakukan identifikasi kebutuhan media yang dapat dirancang oleh Pendidik PAUD.
Levie & Lentz (1982) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu fungsi atensi, fungsi efektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris.
- Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian anak untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau teks materi pelajaran.
- Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan anak ketika belajar atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap anak, misalnya informasi yang menyangkut masalah sosial atau rasa.
- Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
- Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu anak yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali.
Ada berbagai bentuk media visual (gambar) yang dapat membantu proses belajar mengajar. Terlebih bagi anak hiperaktif media visual (gambar merupakan salah satu media yang apat digunakan untuk memusatkan perhatian anak. Media visual (gambar) yang dapat membantu proses belajar mengajar nak hiperaktif adalah: gambar chart, gambar chart berseri (flipchart), foto, alat permainan visual edukatif dan berbagai media visual gambar lainnya. Tujuan utama penampilan berbagai jenis media visual (gambar) ini adalah untuk memvisualisasikan konsep yang ingin disampaikan kepada anak.
Fungsi dan Kedudukan Media Dalam Pembelajaran
Media adalah alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interest antara guru dengan anak dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. (Umar Hamalik, 1994). Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti: buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.
Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi efektivitas pembelajaran. Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan dan perhatian penerima pesan untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke-20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.
Merancang Kegiatan untuk Bermain
Anak-anak bermain dengan berbagai cara sesuai dengan minat dan kemampuan mereka sendiri, dan menikmati berbagai bentuk permainan di waktu dan tempat yang berbeda. Sekitar 15 jenis permainan yang berbeda telah diidentifikasi, yang semuanya penting untuk kesenangan anak-anak dan pengalaman sehari-hari. (Children’s Play Council, National Playing Fields Association and Playlink, 2000).
Prinsip dasar merancang kegiatan bermain untuk anak usia dini adalah sebagai berikut:
- Pilih aktivitas yang seru dan bersifat mendidik. Mendidik di sini bukan hanya berarti belajar berhitung atau membaca, tetapi juga belajar mandiri, membuat keputusan sendiri, dan menjelajahi kreativitas.
- Jangan takut kotor. Beberapa aktivitas akan menyebabkan ruangan berantakan, tapi tidak perlu khawatir terkena cipratan cat atau coretan tinta karena cara menghilangkan noda tinta yang sudah kering di baju tidaklah sulit. Manfaat yang anak dapatkan dari kegiatan-kegiatan ini jauh lebih banyak.
- Gunakan kesempatan ini untuk menjalin ikatan dengan anak. Salah satu manfaat merancang aktivitas untuk anak adalah guru bisa mengambil bagian dalam keseruannya.
Aktivitas Bermain Dalam Pembelajaran AUD
Dalam memilih aktivitas untuk anak usia dini, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan agar perkembangan anak dapat berkembang seoptimal mungkin. Prinsip-prinsip pemilihan aktivitas tersebut di antaranya:
a. Keterlibatan yang signifikan, relevan, dan mengundang
- Anak-anak memahami tujuan tugas
- Sedekat mungkin dengan dunia anak-anak, sedekat mungkin dengan dunia mereka
- Berhubungan dengan situasi yang signifikan bagi anak-anak
b. Sesuai untuk kemampuan anak-anak:
- Dalam ruang lingkup perkembangan anak-anak
- Berdasarkan informasi sebelumnya dan terhubung dengan informasi baru
- Mengizinkan kegiatan di berbagai tingkat kompleksitas
c. Menanggapi perbedaan individu
Minat pribadi, preferensi, kecenderungan, dan berbagai metode belajar
d. Responsif terhadap Perbedaan Sosial dan Lingkungan
Menghargai dan mendukung bahasa dan budaya individual dan menciptakan ikatan antara budaya di mana anak tumbuh dan budaya asalnya.
e. Mendorong perkembangan anak di berbagai bidang
- Mengatasi kebutuhan emosional
- Memperkuat rasa aman dan memiliki
- Menumbuhkan perasaan sukses dan kenikmatan melalui pembelajaran
- Mempromosikan pengembangan kemampuan kognitif
- Mengembangkan ekspresi diri
- Memulai eksperimen dalam pemecahan masalah
- Mengundang interaksi sosial dan belajar untuk berteman
- Mengembangkan keterampilan motorik kasar dan halus
f. Memfasilitasi pembelajaran integrative
- Topik dengan potensi untuk mendorong perkembangan anak-anak di berbagai bidang
- Isi program mengintegrasikan berbagai mata pelajaran dan bidang pengembangan
g. Memungkinkan untuk memasukkan konten kurikulum inti
h. Andal, benar, akurat, tidak menciptakan distorsi
i. Memungkinkan tingkat kebebasan inisiatif untuk anak-anak, orang tua dan profesional lainnya
Sumber Utama: Hikmah, MM, M.Pd. 2019. Perkembangan dan Belajar Anak Usia Dini. Modul 2 PPG Bagi Guru PAUD tahun 2019. Kemendikbud.
Silahkan tinggalkan komentar Anda di bawah ini :
0 Komentar